suatu yang tidak akan saya bisa hidup seperti sampai saat ini, selalu terinspirasi oleh pengalaman

Tuesday 13 November 2012

Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu



Minggu 11 Mar 2012 02:20 PM Fatma Amelia
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
1. Pendekatan Auditori Verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
1.     Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
2.     Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
3.     Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
4.     Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
5.     Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
6.     Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
7.     Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
8.     Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
9.     Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
10.  Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
2. Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
1.     Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
2.     Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
3.     Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
4.     Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.

dikutip: http://blog.elearning.unesa.ac.id/fatma-amelia/pendekatan-dalam-pengajaran-bahasa-bagi-anak-tunarungu

Terapi Musik Bagi Untuk Tuna Rungu


28 11 2009
Oleh : CAMT, Wilfrid Laurier University (terjemahan bebas oleh: Nora. A. Rizal)
Kerusakan pendengaran ditengarai merupakan salah satu kecacatan syaraf yang paling merusakkan. Dimana kecacatan penglihatan merupakan handicap kita dengan sekeliling kita, sedangkan kecacatan pendengaran merupakan handicap komunikasi dengan masarakat (Darrow, 1989). Komunikasi merupakan dasar dari kehidupan social kita dan aktivitas intelektual, dan tanpa itu kita terputus dari dunia. Untuk alasan inilah, praktek klinik dalam terapi musik untuk tuna rungu di fokuskan pada area yang berhubungan dengan komunikasi seperti : pelatihan auditory, produksi suara (berbicara) dan perkembangan bahasa. Melalui penelitian dalam kekurangan pada komunikasi ini, terapi musik menjadi suatu efek kedua untuk memperbaiki rasa sosial dan kepercayaan diri.
Terapi musik masih dianggap tidak praktis. Dikarenakan sebagian besar orang masih mempunyai konsep yang salah terhadap ketuna runguan dalam kapasitasnya untuk mendengar dan mengapresiasi stimulus musik. Seperti yang telah Darrow (1989) katakan, hanya sebagian kecil persentasi dari ketunarunguan yang tidak bisa mendengar sama sekali. Selanjutnya ia mengatakan bahwa, dikarenakan variasi dari frekuensi dan intensitas pada musik, persepsi musik malah lebih bisa ter-akses, dibandingkan dengan sinyal percakapan yang lebih kompleks. Musik juga sangat fleksible dan dapat dimodifikasikan pada level pendengaran pada setiap orang, level bahasa, kematangan dan preferensi musik.
Robbins & Robbins (1980), yang membuat manual resource yang komprehensif dan kurikulum bagi terapi musik untuk tuna runggu melakukan pendekatan terhadap subyek bersangkutan dengan mempunyai sikap yang mempercayai bahwa sense terhadap musik ada pada setiap orang. Melalui musik, mereka mengarah pada sensitivitas yang inherent dan kapasitas merespon langsung kepada ekspresi dari ritme dan variasi nada, yang dideskripsikan sebagai musik. Mereka juga menekankan, bahwa musik dari berbagai sisi mempunyai efek pada manusia. Musik merupakan media untuk aktivitas dalam bereksplorasi dan pengalaman diri, sehingga berhubungan langsung pada bicara dan bahasa, komunikasi dan pikiran, juga pada ekspresi tubuh dan emosi dalam skala besar. Sehingga terapi musik dapat masuk dan meningkatkan habilitas dan perkembangan secara luas bagi ketuna runguan.
Bagi penderita tuna rungu, terapi musik dapat:
Meningkatkan auditory, pelatihan dan perluasan penggunaan dari sisa pendengaran
Auditory training, merupakan bagian yang terintegrasi denga proses habilitasi pada penderita tunarungu
. Tiap individu harus belajar untuk menginterpretasikan dan mengikuti suara, terutama percakapan dalam lingkungannya, dengan maksud untuk meningkatkan rate dan kulitas perkembangan sosial dan komunikasi. Tujuan utama dari auditory training ini adalah untuk mengembakan sisa pendengaran menjadi maksimal. Mereka harus belajar untuk mendengarkan mental yang kompleks dan proses aural. Pelatihan auditori cenderung fokus pada developmment dan fokus untuk analisis suara untuk pasien tuna rungu, dan ini akan menjadikan suatu proses yang membosankan dan tidak menarik. Maka dari itu musik menjadi suatu alat yang memotivasi dan menghidupkan sesi-sesi ini.
Percakapan dan musik mengandung banyak persamaan. Persepsi auditori pada percakapan dan musik melibatkan kemampuan untuk membedakan antara perbedaan suara, pitch, durasi, intensitas dan warna nada dan bagaimana suara bisa berubah-ubah sepanjang waktu. Properti-properti ini terdapat pada kemampuan pendengaran untuk menginterpretasi suara dan mengartikannya. Persamaan yang ada antara musik dan percakapan menyebabkan musik dan terapi musik membuat suatu alternatif dan alat yang menyenangkan untuk melengkapi tehnik pelatihan auditory sebelumnya (Darrow, 1989).
Prosedur terapi musik dapat dapat memberikan beberapa obyek pada pelatihan auditory. Perhatian terhadap suara, perhatian terhadap perbedaan dalam suara, mengenali obyek dan juga suara obyek tersebut, dan penggunaan pendengaran untuk menentukan jarak dan lokasi dari suara dapat dilatih melalui pengalaman pada musik (Darrow 1989). Selain itu, Robbins & Robbins (1980) menemukan bahwa dengan musik yang cocok lebih gampang untuk di dengar dan diasimilasikan dibandingkan dengan percakapan, sehingga lebih cocok untuk dapat menstimulasi motivasi alami pada sisa pendengaran.
Amir & Schuchman (1985) membuat suatu program terapi musik untuk mengembangkan dan meningkatkan kecakapan dalam kesadaran akan suara musik, kesadaran akan kontras intensitas, menyadari adanya suara musik dan juga patron dari musik tersebut. Suatu investigasi untuk melihat keefektifan dari program tersebut memberikan suatu hasil bahwa ada aspek-aspek tertentu untuk seseorang yang profoundly deaf dapat diukur peningkatannya melalui suatu program sistimatik pada pelatihan pendengarannya dalam konteks musikal. Terutama level pendiskriminasian subyek secara signifikan meningkat dan pelatihan dari subyek dalam menerima musik dan juga lingkungan musik tersebut. Amir & Schuchman selanjutnya menyuport penggunaan terapi musik ini dikarenakan hal ini memberikan suatu diversifikasi yang menarik dan pengalam pengajaran yang positif, dengan memperkuat penggunaan sisa pendengaran. Meningkatkan perkembangan percakapan dan meningkatkan intonasi/ritme suara dalam percakapan.
Suara dari seseorang yang mempunyai kekurangan pendengaran sering terdengar aneh dan tidak natural. Pada individu ini sering terjadi kurangnya feedback mekanisme internal yang diperlukan untuk memonitor dan menyesuaikan, sebagai contoh, pelafalan kata-kata, perubahan tinggi rendah (pitch) suara ataupun ritme suara. Sebagai konsekuensi produksi dari suara percakapan mereka sering tidak jelas dan terdistorsi. Penderita tuna rungu ini juga cenderung menunjukkan sedikit variasi pitch dan intonasi dibandingkan orang dengan pendengaran normal, sehingga menghasilkan suara yang monoton. Mereka sering memanjangkan suku kata dan atau kalimat dan juga sering mengambil jeda pada posisi yang tidak tepat. Problem-problem dari ritme dan intonasi ini berpengaruhi pada ketidak jelasan dalam bercakap.
Tehnik dari terapi dan aktivitas musik dapat membantu secara efektif pada perkembangan percakapan dari segi ritme, intonasi, rate dan tekanan suara. Darrow (1989) mendisikusikan penggunaan terapi musik dalam pengertian berbahasa, intonasi vokal, kualitas vokal dan berbicara lancar. Proses bernafas, ritme dan pengambilan waktu yang tepat, pitch dan artikulasi yang diperlukan untuk bernyanyi, memberikan struktur dan motivasi yang penting pagi pasien. Darrow juga menekankan pada pentingnya feedback yang konstan untuk si terapis.
Darrow & Starmer (1986) mempelajari efek dari pelatihan vokal pada frekuensi dasar, range frekuensi dan kecepatan percakapan pada suara anak-anak tuna rungu. Anak-anak ini cenderung mempunyai frekuensi dasar yang tinggi dan sedikit variasi pitch, memproduksi suatu permasalahan dalam kecakapan berbicara. Hasil dari studi ini menyarankan bahwa dengan latihan pada vokal tertentu dan menyanyikan lagu-lagu pada kunci nada rendah yang tepat dapat membantu memodifikasian frekuensi dasar dan range frekuensi pada pasien. Studi lain dari Darrow (1984) juga menunjukkan peran dari terapi musik adalah melatih respons ritme, sehingga membuat respons pada ritme dari suara percakapan menjadi lebih baik.
Staum (1987) telah sukses menggunakan notasi musik untuk mempengaruhi dalam memperbaiki pengucapan bahasa pasien. Ia menggunakan sistem notasi visual sebagai alat untuk membantu pasien dalam mencocokkan kata-kata atau suara dari kata-kata baik yang lazim maupun tidak lazim, dengan ritme yang tepat dan struktur yang dari pitch yang mudah. Hasil positif yang didapat adalah nada pelafalan pengucapan lebih berkembang, juga penyamarataan dan transfer ilmu berkembang secara signifikan
Robbins & Robbins (1980), setelah pelatihan pada pasien tunarungu, mengatakan bahwa kontribusi dari terapi musik untuk memperkuat dan/atau mempercepat pembelajaran dan penggunaan percakapan, vokal yg lebih luas/spontan dan mantap, memperbaiki kualitas suara dan lebih leluasa dalam menggunakan intonasi dan ritme.
Meningkatkan perkembangan dan pendidikan bahasa, dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara umum
Bagi anak-anak tuna rungu, keterbatasan input pendengaran tidak hanya mempengaruhi kemampuan untuk mendengar suara percakapan dari orang lain, namun juga mempunyai dampak negatif terhadap perkembangan bahasa mereka sendiri. Keteraturan memperdengarkan bahasa melalui pendengaran, memberikan informasi penting mengenai vocabulary, syntax (kalimat), semantics (arti kata) dan pragmatics, yang mana hal ini secara langsung diterima oleh anak dengan pendengaran normal. Tanpa keteraturan mendengarkan ini, bagi anak dengan pendengaran terbatas biasanya akan mempunyak banyak problem pada bahasa mereka. Kesulitan itu biasanya terdapat pada kurangnya vocabulary, kesulitan dalam mengartikan kata, menggunakan kata yang salah, struktur dan isi bahasa yang salah, dan lainnya. Kesulitan-kesulitan dalam menggunakan bahsa ini selanjutnya akan menghalangi individu tersebut dari komunikasi yang mempunyai arti dan juga berinteraksi. Problem berbahasa dapat menimbulkan efek negatif pada pendidikan seperti membaca, menulis dan pemahaman (Gfeller, & Baumann, 1988).
Secara signifikan terapi musik memberikan konstribusi pada kemampuan untuk berkomunikasi dan berbahasa pada pasien tuna rungu. Sebagai contoh Gfeller (1990), mendiskusikan tentang pengayaan repertoire musik dan pengalaman bergerak dalam terapi musik, yang dapat di gabungkan dengan percakapan dan, setelahnya penulisan kata. Anak-anak kecil terutama menggunakan setiap saat pergerakan motorik dan belajar sesuatu melalui manipulasi dari lingkungannya. Instrument musik dan materialnya kaya akan sumber-sumber keterlibatan pada sensorik dan motorik. Pengalaman pada Multi sensory bahwa musik merupakan alat pembelajaran yang bernilai, yang pada akhirnya juga terkait pada representasi mental atau simbol, Gfeller (1990). Event musik dan sekuensialnya dapat dibuat oleh para terapis sebagai model penggunaan bahasa untuk anak. Semenjak rehabilitasi bahasa merupakan suatu proses yang panjang dan lama, terapis musik dapat memberikan motivasi penting untuk membuat aktifitas menjadi bermain dan menyenangkan. Aktivitas dalam terapi musik dapat juga membuat suatu oportuniti untuk menggunakan konsep bahasa dalam konteks yang berbeda
Penelitian lain juga menemukan bahwa integrasi musik dalam pendidikan sebagai bahasa seni sangat menguntungkan (Darrow, 1989; Gfeller, & Darrow, 1987). Tidak hanya meningkatkan motivasi tapi juga memberikan sebuah pendekatan multi sensori untuk belajar, yang dapat membantu pasien untuk mendalami arti dari kata-kata baru. Bernyanyi contohnya, memberikan suatu kesempatan untuk secara intensif menggunakan pendengaran dan beraktifitas vokal. Mempelajari lagu dapat menstimulasi latihan dalam pembedaan auditori, membedakan dan meleburkan bunyi huruf, pengucapan suku-suku kata dan pelafalan kata (Gfeller, & Darrow, 1987). Hal ini dapat juga membantu mengembangkan penguasaan kata-kata dan memberikan suatu pengalaman dalam belajar membuat struktur kalimat dan semantiknya. Membuat lagu dapat juga bertujuan sama. Lagu juga mempunyai kelebihan dalam melafalkan suatu patron nada, menjadi tidak monoton.
Disamping meningkatkan perkembangan bahasa dan mendidik bahasa pada pasien tuna rungu, terapi musik juga meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan memberikan semacam kesadaran dan kemampuan melihat suatu arti yang diselaraskan/disampaikan melalui “nada pada suara”.
Hal-hal penting didalam berkomunikasi dengan orang lain adalah espresi wajah, body language, dan pitch serta intensitas dinamik. Kesadaran dan kepekaan terhadap style dari bahasa yang diucapkan oleh diri sendiri dan orang lain, dapat diberikan dengan berhasil melalui penerapan terapi musik. Dengan menggayakan suatu lagu dan memberi isyarat pada lagu dengan cara yang “gaya baik/indah”, seseorang dapat mempelajari untuk menggunakan dan menyadari nuansa dalam berkomunikasi dengan yang lain (Gfeller, & Darrow, 1987). Berisyarat dalam bernyanyi juga memberikan suatu kesempatan untuk mengeksplorasikan ekspresi dari emosi sendiri, karena lirik dan melodi secara persamaan dapat mengungkapakan suatu ekspresi jiwa dibandingkan dengan hanya berbicara.
Mengembangkan jiwa sosialisasi, kesadaran diri, kepuasan emosinal dan meningkatkan kepercayaan diri
Didalam beberapa literatur mengkarakterkan bahwa seseorang tuna rungu mempunya perasaan kuat akan rendah diri dan depresi, juga mempunyai sikap tidak bisa dipengaruhi dan tertutup (lihat ulasan ulang dari Galloway, & Bean, 1974). Body-image dan kesadaran yang tidak terlalu baik, kurangnya berbahasa dan berkomunikasi, dan tertutupnya rasa sosialisasi, memberikan kontribusi secara signifikan pada perasaan-perasaan ini. Terapi musik dapat memberikan kesempatan yang penting untuk memperbaiki masalah ini dan meningkatkan rasa percaya diri seseorang yang tuna rungu.
Brick (1973) menemukan eurhythmics—Seni dari keharmonisan dan gerak tubuh yang ekspresif—dan aktifitas musik yang memberikan pasien suatu pengalaman yang menyenangkan, dimana hal tersebut memberikan energi kreatif untuk pasien. Hal ini sebaliknya membantu mengembangkan kepercayaan diri, memberi rasa bangga dalam menyelesaikan sesuatu dan bekerja sama dalam satu grup. Robbins & Robbins (1980) juga menemukan bahwa aktifitas kelompok musik dapat memberikan contoh untuk menyesuaikan didalam bersosialisasi. Hasil hakiki yang didapat dalam pengalaman bermusik sepertinya dapat memotivasi pasien yang selalu melawan untuk dapat bekerja sama (co-operative), yang selalu tidak fokus menjadi fokus dan yang selalu gagal menjadi berusaha untuk selalu menyelesaikan pekerjaannya. Pasien yang juga selalu jelek/gagal dalam hal lain, dapat menerima bantuan spesial dan kompensasi yang baik melalui terapi musik ini.
Body-image dan kesadaran juga dapat meningkat melalui terapi musik ini. Galloway & Bean (1974) menemukan bahwa aktivitas bernyanyi dan melakukan gerakan pada musik juga efektif. Robbins & Robbins (1980) juga menekankan pentingnya realistis dan positif pada diri sendiri. Mereka menemukan juga bahwa kecakapan dalam bergerak yang dipelajari melalui musik dapat meningkatkan rasa percaya diri, koordinasi, sikap tenang yang alami dan kesadaran akan jati diri.
Bernyanyi, bermain atau bergaya pada suatu lagu dapat menghasilkan seseorang untuk dapat berekspresi dan puas terhadap diri secara emosional. Gfeller & Darrow (1987) menyarankan bahwa bergaya atau bernyanyi pada lagu yang dibuat sendiri, juga dapat membuat seseorang tuna rungu untuk mengekspresikan atau mengilustrasikan pikirannya, perasaannya dan idenya bila hal itu terlalu sulit untuk dituliskan. Staum (1987) juga menemukan bahwa tehnik dan prosedur terapi musik dapat memberikan suatu skill yang fungsional yang dapat terintegrasi langsung di dalam pelajaran musik secara private maupun secara klasikal. Melalui suatu cara yang dapat di transfer diluar sesi terapi, seseorang lebih bisa dan senang untuk berekspresi pada situasi baru , bertemu orang baru, dan dapat bekerja dalam suatu grup-grup. Hal ini sebaliknya pula memberikan suatu rasa tanggung jawab sosial juga kesadaran, kebanggan dan kepercayaan diri dan sosial.

Wednesday 17 October 2012

Kenali Kesulitan Belajar Anak Sejak Dini


Kenali Kesulitan Belajar Anak Sejak Dini
Ilustrasi

Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau  lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung.
Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut.
1.    Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2.    Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3.    Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4.    Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5.    Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Dari sedikit penjelasan diatas, dirasakan bahwa orangtua perlu mengetahui bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh putra/puteri mereka agar lebih mengerti bentuk kesulitan yang putera/puteri mereka hadapi. Banyak orangtua yang juga bertanya dan bingung tentang pendidikan dan prestasi belajar anak, baik di sekolah maupun dirumah.
Bahkan belajar menjadi 4 golongan masalah yang biasanya terjadi pada anak kita. Pada dasarnya seorang anak memiliki 4 masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya yaitu:
1.    Out of Law / Tidak taat aturan (seperti misalnya, susah belajar, susah menjalankan perintah, dsb)
2.    Bad Habit / Kebiasaan jelek (misalnya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek, dsb.)
3.    Maladjustment / Penyimpangan perilaku
4.    Pause Playing Delay / Masa bermain yang tertunda
Perlu diketahui juga, awalnya banyak pendapat yang menyatakan keberhasilan anak dan pendidikan anak sangat tergantung pada IQ (intelligence quotient). Namun memasuki dekade 90-an pendapat itu mulai berubah. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa keberhasilan anak sangat tergantung pada kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang dimiliki. Jadi IQ bukanlah satu satunya yang mempengaruhi keberhasilan anak, masih ada emotional intelligence yang juga perlu diperhatikan.
Ini adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasaan, dan mengatur suasana hati.
Dari berbagai penjelasan diatas, tentu banyak sekali tugas kita sebagai orangtua dalam mendidik anak kita baik mulai dari masa kecil mereka maupun hingga besar nantinya. Semua adalah tanggung jawab yang mulia, sebagaimana anak adalah karunia dan titipan tuhan kepada kita. Maka dari itu kita lah yang harus merawat dan memperhatikan perkembangan mereka, dan akhirnya kita pula yang akan tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka. Marilah kita memulai belajar mengenali dan mendidik anak mulai dari sekarang.

dikutip: http://www.psikologizone.com/kenali-kesulitan-belajar-anak-sejak-dini/06511486

Teori Baru Penyebab "Down Syndrome"

Senin, 29 Maret 2010 | 11:19 WIB
Kompas/Iwan Setiyawan
Sejumlah anak penderita down syndrom dipandu melakukan lomba lompat jauh saat mengikuti kejuaraan olahraga penyandang cacat di Lapangan KONI Jatim di Surabaya, Rabu (26/11).
JAKARTA, KOMPAS.com — Sampai saat ini, para ahli belum mengetahui penyebab pasti down syndrome atau gangguan keterbelakangan mental. Down Syndrome adalah suatu kelainan kromosom pada kromosom 21 di mana terjadi penambahan jumlah kromosom.

Kromosom manusia ada 22 pasang. Pada mereka yang terkena down syndrome, kromosom yang ke-21 ada tambahan kromosom atau perpindahan
kromosom dari tempat lain sehingga menjadi kromosom 21 plus yang
kita kenal trisomi 21.

Akibat adanya penambahan kromosom, akan terjadi gangguan pada anak. Biasanya gangguan itu pada saraf, tulang, kulit, jantung, dan fungsi pencernaan.

Pasien down syndrome ini mempunyai wajah yang khas, misalnya karena ada gangguan pada pertumbuhan tulang, maka tulang dahinya lebih datar, jembatan mata lebih datar, mata kiri dan mata kanan agak berjauhan, posisi daun telinganya lebih rendah. Yang jelas, wajahnya sangat spesifik mongolism dan mengalami retardasi mental.

Para peneliti dari Amerika Serikat baru-baru ini mengungkapkan teori terbaru penyebab down syndrome. Disebutkan bahwa hilangnya protein di otak dalam jumlah sedikit, bukan banyak seperti yang selama ini diduga, menjelaskan mengapa terjadi down syndrome.

Para peneliti menemukan, baik pada manusia dan mencit yang menderita down syndrome, memiliki kadar protein spesifik di otak lebih sedikit dibandingkan orang yang normal. Pada uji coba pemberian obat pada mencit, ternyata berhasil mengembalikan kadar protein menjadi normal kembali.

"Kini kita sampai pada paradigma baru bahwa kita seharusnya melihat jumlah protein yang berkurang dan bukannya yang berlebihan pada otak penderita down syndrome. Ini adalah peluang untuk mengembangkan terapi target pengobatan down syndrome," kata peneliti senior Terry Elton, profesor farmakologi dari Ohio State University, AS.

Prevalensi down syndrome kira-kira 1 berbanding 700 kelahiran. Di dunia, lebih kurang ada 8 juta anak down syndrome. Di Indonesia, dari hasil survei terbaru, sudah mencapai lebih dari 300.000 orang.
Healthday News

Cerebral Palsy

Definisi Cerebral Palsy

Cerebral palsy (CP) adalah kelainan dari fungsi motor (berlawanan dengan fungsi mental) dan postural tone yang didapat pada umur yang dini, bahkan sebelum kelahiran. Tanda-tanda dan gejala-gejala dari cerebral palsy biasanya menunjukan diri pada tahun pertama kehidupan.
Kelainan pada sistim motor ini adalah akibat dari luka-luka otak yang tidak progresif. Sistim motor tubuh menyediakan kemampuan untuk bergerak dan mengontrol gerakan-gerakan. Luka otak adalah segala kelainan dari struktur atau fungsi otak. "Tidak progresif" berarti bahwa luka tidak menghasilkan degenerasi otak yang terus menerus (berkelanjutan). Ia juga menyiratkan bahwa luka otak adalah akibat dari luka otak satu kali, yang tidak akan terjadi lagi. Apapun kerusakan otak yang terjadi pada saat luka adalah tingkat kerusakan untuk sisa kehidupan anak .
Cerebral palsy mempengaruhi kira-kira satu sampai tiga dari setiap seribu anak-anak yang dilahirkan. Bagaimanapun, ia adalah lebih tinggi pada bayi-bayi yang dilahirkan dengan berat badan yang sangat rendah dan bayi-bayi prematur.
Dengan menarik, metode-metode perawatan yang baru yang berakibat pada angka kelangsungan hidup yang meningkat dari bayi-bayi dengan berat badan waktu lahir yang rendah dan prematur sebenarnya berakibat pada jumlah keseluruhan yang meningkat dari anak-anak dengan cerebral palsy. Teknologi-teknologi baru, bagaimanapun, tidak merubah angka dari cerebral palsy pada anak-anak yang dilahirkan dengan masa penuh dan berat badan yang normal.

Penyebab Cerebral Palsy

Istilah cerebral palsy tidak mengindikasikan penyebab atau prognosis dari anak dengan cerebral palsy. Ada banyak penyebab-penyebab yang mungkin dari cerebral palsy.
Pada bayi-bayi dengan masa penuh penyebab dari cerebral palsy biasanya adalah prenatal (sebelum kelahiran) dan tidak berhubungan dengan pada kejadian-kejadian pada saat kelahiran; pada kebanyakan kejadian-kejadian ia berhubungan dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama kehamilan ketika fetus sedang berkembang didalam kandungan ibu.
Kelahiran prematur adalah faktor risiko untuk cerebral palsy. Otak premature berada pada risiko perdarahan yang tinggi, dan ketika cukup parah, ia dapat berakibat pada cerebral palsy. Anak-anak yang dilahirkan prematur dapat juga mengembangkan keadaan pernapasan menyusahkan yang serius yang disebabkan oleh paru-paru yang belum dewasa dan berkembang dengan buruk. Ini dapat menjurus pada periode-periode dari oksigen yang berkurang yang diantarkan ke otak yang mungkin berakibat pada cerebral palsy. Proses otak yang dimengeti dengan buruk yang diamati pada beberapa bayi-bayi prematur disebut periventricular leukomalacia. Ini adalah penyakit dimana lubang-lubang terbentuk pada bahan putih dari otak bayi prematur. Bahan putih adalah perlu untuk pemrosesan yang normal dari sinyal-sinyal yang dipancarkan keseluruh otak, dan dari otak ke seluruh tubuh.
Kelainan-kelainan bahan putih diamati pada banyak kasus-kasus dari cerebral palsy. Meskipun demikian, adalah penting untuk mengenali bahwa mayoritas yang besar dari bayi-bayi prematur, bahkan yang dilahirkan sangat prematur, tidak menderita cerebral palsy. Banyak kemajuan-kemajuan pada bidang neonatology (perawatan dan studi dari persoalan-persoalan yang mempengaruhi bayi-bayi yang baru dilahirkan) yang telah meningkatkan kelangsungan hidup dari bayi-bayi yang sangat prematur.
Penyebab-penyebab penting lainnya dari cerebral palsy termasuk kecelakaan-kecelakaan dari perkembangan otak, penyakit-penyakit genetik, stroke yang disebabkan oloeh pembuluh-pembuluh darah yang abnormal atau gumpalan-gumpalan darah, atau infeksi-infeksi dari otak.
Meskipun secara luas dipercayai bahwa penyebab yang paling umum dari cerebral palsy adalah kekurangan oksigen ke otak selama kelahiran (birth asphyxia), ia sebenarnya adalah penyebab yang sangat jarang dari cerebral palsy. Jika cerebral palsy adalah akibat dari birth asphyxia, bayi hampir selalu menderita neonatal encephalopathy yang parah dengan gejala-gejala selama beberapa hari pertama kehidupannya. Gejala-gejala ini termasuk:
  • serangan-serangan,
  • keiritasian,
  • kerlipan-kerlipan,
  • persoalan-persoalan memberi makan dan pernapasan,
  • kelesuan, dan
  • koma tergantung pada keparahan.
Pada kejadian-kejadian yang jarang, kecelakaan-kecelakaan kandungan selama kelahiran-kelahiran yang terutama sulit dapat menyebabkan kerusakan otak dan berakibat pada cerebral palsy. Berlawanan dengannya, adalah sangat tidak mungkin bahwa gejala-gejala cerebral palsy akan berkembang setelah berumur beberapa tahun sebagai akibat dari komplikasi-komplikasi kandungan.
Penyiksaan anak selama masa kanak-kanak dapat menyebabkan kerusakan otak yang signifikan dimana, pada gilirannya, dapat menjurus pada cerebral palsy. Penykisaan ini seringkali mengambil bentuk dari guncangan yang parah dari orangtua atau perawat yang frustrasi, yang menyebabkan hemorrhage (perdarahan) didalam atau tepat diluar otak. Untuk menambah persoalan lebih jauh, banyak anak-anak dengan kelainan-kelainan perkembangan berisiko untuk disiksa. Jadi, anak dengan cerebral palsy mungkin diperburuk secara signifikan atau bahkan dibunuh dengan kejadian tunggal dari penyiksaan.
Meskipun dengan keberagaman dari penyebab-penyebab cerebral palsy, banyak kasus-kasus menetap tanpa penyebab yang jelas. Bagaimanapun, kemampuan yang meningkat untuk melihat struktur otak dengan magnetic resonance imaging (MRI) dan CT scans serta kemampuan-kemampuan diagnostik yang diperbaiki untuk penyakit-penyakit genetik telah membuat jumlah dari kasus-kasus semacam ini jauh lebih rendah.

dikutip: http://www.totalkesehatananda.com/cerebralpalsy1.html

Sunday 14 October 2012

Cara Mendeteksi Anak Indigo

Putro Agus Harnowo - detikHealth
Rabu, 03/10/2012 16:32 WIB
Jakarta, Kemampuan anak indigo secara psikologis sudah bisa dideteksi sejak anak usia 3 tahun. Bagaimana cara mendeteksi apakah anak ini indigo atau tidak?

"Anak indigo seringkali menguasai berbagai bidang dengan baik, sesuai dengan tipenya. Secara psikologis, anak berumur 3 tahun setelah bisa bicara dapat dideteksi kemampuan indigonya," jelas dr Erwin Kusuma SpKJ (K), psikiater dari RSPAD Gatot Subroto ketika berbincang dengan detikHealth seperti ditulis, Rabu (3/10/2012).

Secara fisik anak-anak indigo tak jauh berbeda dengan anak lainnya. Hanya batinnya saja yang lebih dewasa. Anak-anak indigo sering memperlihatkan sifat orang dewasa, sangat cerdas dan memiliki indera keenam yang sangat tajam.

Oleh karena itu, untuk dapat memahami anak indigo, diperlukan pendekatan yang menyeluruh dangan memperhatikan semua faktor pada orang secara utuh dengan lingkungannya.

"Pemeriksaan anak indigo dapat dilakukan oleh dokter spesialis anak, psikiater anak, psikolog anak, pedagog atau pendidik yang telah terlatih, aura imaging dan hipnografi untuk melihat kemampuan komunikasi spiritualnya. Masing-masing pemeriksaan ini memilki aspeknya masing-masing," kata dr Erwin.

Untuk mengetahui seorang anak indigo atau tidak dapat dilakukan dengan cara berikut:

1. Pemeriksaan Kecerdasan
Pemeriksaan secara psikologis dapat dilakukan dengan cara mengukur tingkat kecerdasan anak. Anak indigo memiliki kecerdasan yang tinggi, bahkan melebihi kecerdasan rata-rata anak pada umumnya. Untuk dapat dikatakan sebagai indigo, IQ seorang anak harus lebih dari 130 poin.

2. Periksa Aura
Aura adalah energi elektromagnetic yang berputar mengelilingi tubuh. Energi ini tergambar dalam aneka warna yang beragam dan dapat dilihat melalui pemeriksaan Aura Video Station atau ESP (Extra Sensory Perception). Anak indigo memiliki aura berwarna keunguan yang merupakan representasi kondisi mental yang bersifat spiritual.

3. Membandingkan Dengan Realitas
Anak indigo sering dianggap berhalusinasi apabila melihat bayangan atau sosok yang aneh dan ganjil. Untuk memastikan keabsahanannya, bisa dicek langsung dengan realitas di lapangan.

Misalnya pada anak indigo dengan kemampuan melihat kejadian di masa depan atau precogniton, apabila perkataannya kemudian lantas benar terjadi, maka ada kemungkinan ia indigo. Jika banyak perkataannya yang ternyata terbukti, maka jelas sudah ia memiliki kemampuan indigo.

Bisa juga diperbandingkan dengan orang indigo lainnya. Apabila sama-sama memiliki bayangan atau gambaran yang sama, maka perkataannya tidak mengada-ada.

dikutip: http://health.detik.com/read/2012/10/03/162604/2053820/775/cara-mendeteksi-anak-indigo

Ciri-Ciri Anak Indigo

Indigo merupakan istilah bagi anak yang mempunyai kemampuan dan ciri-ciri yang tidak biasa dibandingkan dengan anak-anak yang lain bahkan dari anak yang lebih tua darinya. Telah banyak anak indigo yang terlahir di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Indigo sendiri berasal dari bahasa Spanyol yang berarti berwarna nila. Anak indigo memiliki aura tubuh yang didomonasi warna nila. Mereka juga memiliki kepekaan indera keenam atau intuisi yang sangat tajam.

Kebanyakan dari anak indigo memiliki kelebihan dengan bakat yang sangat luar biasa atau secara akademik mempunyai kepintaran di atas rata-rata bila dibandingkan teman-temannya.

Anak indigo juga mampu menunjukan empati yang sangat dalam dan mudah merasa iba serta tampak bijaksana untuk anak seusianya. Menurut para ahli, anak indigo adalah anak yang memiliki jiwa yang dewasa meskipun raganya masih anak-anak.

Istilah indigo pertama kali diungkap oleh Nancy Ann Tappe, seorang cenayang pada sekitar tahun 1970-an. Nancy Ann mengaku memiliki kemampuan untuk melihat aura seseorang. Anak yang memiliki aura indigo (berwarna nila) mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain.

Berikut ini ciri-ciri anak indigo:
  1. Memiliki kecerdasan yang melebihi anak-anak yang lain. Rata-rata anak indigo biasanya memiliki IQ lebih dari 120.
  2. Lebih bijaksana, sering menasehati teman-temannya bahkan orangtuanya sendiri.
  3. Memiliki keinginan yang kuat tehadap sesuatu.
  4. Lebih sulit diatur karena mereka mempunyai cara berpikir sendiri yang terkadang sulit dipahami oleh orang lain.
  5. Tidak sabaran dan tidak suka bila harus menunggu.
  6. Tidak bisa menerima hukuman yang tanpa alasan, selalu ingin alasan yang jelas.
  7. Mempunyai empati yang kuat terhadap sesama, atau tidak punya empati sama sekali.
  8. Mudah teralihkan perhatiannya, tetapi juga mampu mengerjakan banyak hal bersamaan.
  9. Cenderung kreatif.
  10. Cepat bosan dengan tugas yang diberikan.
  11. Mempunyai intuisi yang tajam.
  12. Biasanya memiliki indera keenam yang menyebabkan mereka mengalami hal-hal yang tidak dialami oleh yang lain, misalnya dapat melihat kejadian yang belum terjadi, melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, bahkan melakukan telepati.
  13. Sering diidentifikasi menderita ADD (Atenttion Defisit Disorder / susah konsentrasi) atau ADHD (Attention Defisit and Hyperactive Disorder / hiperaktif).
  14. Mempunyai kesadaran spiritual atau mempunyai kemampuan psikis.
  15. Mengekspresikan kemarahan dan mempunyai masalah dengan menahan amarah.
  16. Mereka tampak antisosial kecuali jika mereka bersama dengan orang-orang yang sama dengan mereka.
  17. Sering tidak mau memberitahukan kepada orang lain tentang apa yang mereka butuhkan.
dikutip: http://sekilasinfoforyou.blogspot.com/2012/05/ciri-ciri-anak-indigo.html

KARAKTERISTIK ANAK BERBAKAT ISTIMEWA (GIFTED CHILD)

Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa domain penting, termasuk di dalamnya : domain intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi, domain motivasi dan nilai-nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial. Berikut disarikan beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak berbakat istimewa pada masing-masing domain diatas. Namun demikian perlu dicatat bahwa tidak semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau memiliki semua karakteristik yang disebutkan di dalam daftar ini.
Karakteristik Intelektual-Kognitif
  1. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim, pikiran-pikiran kreatif.
  2. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep yang utuh.
  3. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
  4. Mampu menggeneralisir suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang sederhana dan mudah dipahami.
  5. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.
  6. Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
  7. Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu mengartikulasikannya dengan baik.
  8. Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata.
  9. Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.
  10. Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.
  11. Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.
  12. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
  13. Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
  14. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
  15. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.
Karakteristik Persepsi/Emosi
  1. Sangat peka perasaannya.
  2. Menunjukkan gaya bercanda atau humor yang tidak lazim (sinis, tepat sasaran dalam menertawakan sesuatu hal tapi tanpa terasa dapat menyakiti perasaan orang lain).
  3. Sangat perseptif dengan beragam bentuk emosi orang lain (peka dengan sesuatu yang tidak dirasakan oleh orang-orang lain).
  4. Memiliki perasaan yang dalam atas sesuatu.
  5. Peka dengan adanya perubahan kecil dalam lingkungan sekitar (suara, aroma, cahaya).
  6. Pada umumnya introvert.
  7. Memandang suatu persoalan dari berbagai macam sudut pandang.
  8. Sangat terbuka dengan pengalaman atau hal-hal baru
  9. Alaminya memiliki ketulusan hati yang lebih dalam dibanding anak lain.
Karakteristik Motivasi dan Nilai-Nilai Hidup
  1. Menuntut kesempurnaan dalam melakukan sesuatu (perfectionistic).
  2. Memiliki dan menetapkan standar yang sangat tinggi bagi diri sendiri dan orang lain.
  3. Memiliki rasa ingin tahu dan kepenasaran yang sangat tinggi.
  4. Sangat mandiri, sering merasa tidak perlu bantuan orang lain, tidak terpengaruh oleh hadiah atau pujian dari luar untuk melakukan sesuatu (self driven).
  5. Selalu berusaha mencari kebenaran, mempertanyakan dogma, mencari makna hidup.
  6. Melakukan sesuatu atas dasar nilai-nilai filsafat yang seringkali sulit dipahami orang lain.
  7. Senang menghadapi tantangan, pengambil risiko, menunjukkan perilaku yang dianggap “nyerempet-nyerempet bahaya” .
  8. Sangat peduli dengan moralitas dan nilai-nilai keadilan, kejujuran, integritas.
  9. Memiliki minat yang beragam dan terentang luas.
Karakteristik Aktifitas
  1. Punya energi yang seolah tak pernah habis, selalu aktif beraktifitas dari satu hal ke hal lain tanpa terlihat lelah.
  2. Sulit memulai tidur tapi cepat terbangun, waktu tidur yang lebih sedikit dibanding anak normal.
  3. Sangat waspada.
  4. Rentang perhatian yang panjang, mampu berkonsentrasi pada satu persoalan dalam waktu yang sangat lama.
  5. Tekun, gigih, pantang menyerah.
  6. Cepat bosan dengan situasi rutin, pikiran yang tidak pernah diam, selalu memunculkan hal-hal baru untuk dilakukan.
  7. Spontanitas yang tinggi.
Karakteristik Relasi Sosial
  1. Umumnya senang mempertanyakan atau menggugat sesuatu yang telah mapan.
  2. Sulit melakukan kompromi dengan pendapat umum.
  3. Merasa diri berbeda, lebih maju dibanding orang lain, merasa sendirian dalam berpikir atau pada saat merasakan suatu bentuk emosi.
  4. Sangat mudah jatuh iba, empatik, senang membantu.
  5. Lebih senang dan merasa nyaman untuk berteman atau berdiskusi dengan orang-orang yang usianya jauh lebih tua.                                                                                                                                                                                                        dikutip: http://giftedindonesia.wordpress.com/2008/04/23/karakteristik-anak-berbakat-istimewa-gifted-child/