28 11 2009
Oleh : CAMT,
Wilfrid Laurier University (terjemahan bebas oleh: Nora. A. Rizal)
Kerusakan pendengaran ditengarai
merupakan salah satu kecacatan syaraf yang paling merusakkan. Dimana kecacatan
penglihatan merupakan handicap kita dengan sekeliling kita, sedangkan kecacatan
pendengaran merupakan handicap komunikasi dengan masarakat (Darrow, 1989).
Komunikasi merupakan dasar dari kehidupan social kita dan aktivitas
intelektual, dan tanpa itu kita terputus dari dunia. Untuk alasan inilah,
praktek klinik dalam terapi musik untuk tuna rungu di fokuskan pada area yang
berhubungan dengan komunikasi seperti : pelatihan auditory, produksi suara
(berbicara) dan perkembangan bahasa. Melalui penelitian dalam kekurangan pada komunikasi
ini, terapi musik menjadi suatu efek kedua untuk memperbaiki rasa sosial dan
kepercayaan diri.
Terapi musik masih dianggap tidak
praktis. Dikarenakan sebagian besar orang masih mempunyai konsep yang salah
terhadap ketuna runguan dalam kapasitasnya untuk mendengar dan mengapresiasi
stimulus musik. Seperti yang telah Darrow (1989) katakan, hanya sebagian
kecil persentasi dari ketunarunguan yang tidak bisa mendengar sama sekali. Selanjutnya
ia mengatakan bahwa, dikarenakan variasi dari frekuensi dan intensitas pada
musik, persepsi musik malah lebih bisa ter-akses, dibandingkan dengan sinyal
percakapan yang lebih kompleks. Musik
juga sangat fleksible dan dapat dimodifikasikan pada level pendengaran pada
setiap orang, level bahasa, kematangan dan preferensi musik.
Robbins & Robbins (1980), yang membuat manual resource yang
komprehensif dan kurikulum bagi terapi musik untuk tuna runggu melakukan
pendekatan terhadap subyek bersangkutan dengan mempunyai sikap yang mempercayai
bahwa sense terhadap musik ada pada setiap orang. Melalui musik, mereka mengarah pada sensitivitas yang inherent dan
kapasitas merespon langsung kepada ekspresi dari ritme dan variasi nada, yang
dideskripsikan sebagai musik. Mereka juga menekankan, bahwa musik dari berbagai
sisi mempunyai efek pada manusia. Musik
merupakan media untuk aktivitas dalam bereksplorasi dan pengalaman diri,
sehingga berhubungan langsung pada bicara dan bahasa, komunikasi dan pikiran,
juga pada ekspresi tubuh dan emosi dalam skala besar. Sehingga terapi musik
dapat masuk dan meningkatkan habilitas dan perkembangan secara luas bagi ketuna
runguan.
Bagi penderita
tuna rungu, terapi musik dapat:
Meningkatkan auditory,
pelatihan dan perluasan penggunaan dari sisa pendengaran
Auditory training, merupakan bagian yang terintegrasi denga proses habilitasi
pada penderita tunarungu. Tiap individu harus belajar untuk menginterpretasikan dan mengikuti suara,
terutama percakapan dalam lingkungannya, dengan maksud untuk meningkatkan rate
dan kulitas perkembangan sosial dan komunikasi. Tujuan utama dari auditory training ini adalah
untuk mengembakan sisa pendengaran menjadi maksimal. Mereka harus belajar untuk mendengarkan
mental yang kompleks dan proses aural. Pelatihan auditori cenderung fokus pada
developmment dan fokus untuk analisis suara untuk pasien tuna rungu, dan ini
akan menjadikan suatu proses yang membosankan dan tidak menarik. Maka dari itu musik menjadi suatu alat yang
memotivasi dan menghidupkan sesi-sesi ini.
Percakapan dan musik mengandung banyak persamaan. Persepsi auditori pada
percakapan dan musik melibatkan kemampuan untuk membedakan antara perbedaan
suara, pitch, durasi, intensitas dan warna nada dan bagaimana suara bisa
berubah-ubah sepanjang waktu. Properti-properti ini terdapat pada kemampuan
pendengaran untuk menginterpretasi suara dan mengartikannya. Persamaan yang ada
antara musik dan percakapan menyebabkan musik dan terapi musik membuat suatu
alternatif dan alat yang menyenangkan untuk melengkapi tehnik pelatihan
auditory sebelumnya (Darrow, 1989).
Prosedur terapi musik dapat dapat memberikan beberapa obyek pada pelatihan
auditory. Perhatian terhadap suara, perhatian terhadap perbedaan dalam suara,
mengenali obyek dan juga suara obyek tersebut, dan penggunaan pendengaran untuk
menentukan jarak dan lokasi dari suara dapat dilatih melalui pengalaman pada
musik (Darrow 1989). Selain itu, Robbins & Robbins (1980) menemukan bahwa
dengan musik yang cocok lebih gampang untuk di dengar dan diasimilasikan
dibandingkan dengan percakapan, sehingga lebih cocok untuk dapat menstimulasi
motivasi alami pada sisa pendengaran.
Amir & Schuchman (1985) membuat suatu program terapi musik untuk
mengembangkan dan meningkatkan kecakapan dalam kesadaran akan suara musik,
kesadaran akan kontras intensitas, menyadari adanya suara musik dan juga patron
dari musik tersebut. Suatu investigasi untuk melihat keefektifan dari program
tersebut memberikan suatu hasil bahwa ada aspek-aspek tertentu untuk seseorang
yang profoundly deaf dapat diukur peningkatannya melalui suatu program
sistimatik pada pelatihan pendengarannya dalam konteks musikal. Terutama level
pendiskriminasian subyek secara signifikan meningkat dan pelatihan dari subyek
dalam menerima musik dan juga lingkungan musik tersebut. Amir & Schuchman
selanjutnya menyuport penggunaan terapi musik ini dikarenakan hal ini
memberikan suatu diversifikasi yang menarik dan pengalam pengajaran yang
positif, dengan memperkuat penggunaan sisa pendengaran. Meningkatkan
perkembangan percakapan dan meningkatkan intonasi/ritme suara dalam percakapan.
Suara dari seseorang yang mempunyai kekurangan pendengaran sering terdengar
aneh dan tidak natural. Pada individu ini sering terjadi kurangnya feedback
mekanisme internal yang diperlukan untuk memonitor dan menyesuaikan, sebagai
contoh, pelafalan kata-kata, perubahan tinggi rendah (pitch) suara ataupun
ritme suara. Sebagai konsekuensi produksi dari suara percakapan mereka sering
tidak jelas dan terdistorsi. Penderita tuna rungu ini juga cenderung
menunjukkan sedikit variasi pitch dan intonasi dibandingkan orang dengan
pendengaran normal, sehingga menghasilkan suara yang monoton. Mereka sering
memanjangkan suku kata dan atau kalimat dan juga sering mengambil jeda pada
posisi yang tidak tepat. Problem-problem dari ritme dan intonasi ini
berpengaruhi pada ketidak jelasan dalam bercakap.
Tehnik dari terapi dan aktivitas musik
dapat membantu secara efektif pada perkembangan percakapan dari segi ritme,
intonasi, rate dan tekanan suara. Darrow (1989) mendisikusikan penggunaan
terapi musik dalam pengertian berbahasa, intonasi vokal, kualitas vokal dan
berbicara lancar. Proses bernafas, ritme dan pengambilan waktu yang tepat,
pitch dan artikulasi yang diperlukan untuk bernyanyi, memberikan struktur dan
motivasi yang penting pagi pasien. Darrow juga menekankan pada pentingnya
feedback yang konstan untuk si terapis.
Darrow & Starmer (1986) mempelajari efek dari pelatihan vokal pada
frekuensi dasar, range frekuensi dan kecepatan percakapan pada suara anak-anak
tuna rungu. Anak-anak ini cenderung mempunyai frekuensi dasar yang tinggi dan
sedikit variasi pitch, memproduksi suatu permasalahan dalam kecakapan
berbicara. Hasil dari studi ini menyarankan bahwa dengan latihan pada vokal
tertentu dan menyanyikan lagu-lagu pada kunci nada rendah yang tepat dapat
membantu memodifikasian frekuensi dasar dan range frekuensi pada pasien. Studi
lain dari Darrow (1984) juga menunjukkan peran dari terapi musik adalah melatih respons ritme,
sehingga membuat respons pada ritme dari suara percakapan menjadi lebih baik.
Staum (1987) telah sukses menggunakan notasi musik untuk mempengaruhi dalam
memperbaiki pengucapan bahasa pasien. Ia menggunakan sistem notasi visual
sebagai alat untuk membantu pasien dalam mencocokkan kata-kata atau suara dari
kata-kata baik yang lazim maupun tidak lazim, dengan ritme yang tepat dan
struktur yang dari pitch yang mudah. Hasil positif yang didapat adalah nada pelafalan
pengucapan lebih berkembang, juga penyamarataan dan transfer ilmu berkembang
secara signifikan
Robbins & Robbins (1980), setelah pelatihan pada pasien tunarungu, mengatakan bahwa
kontribusi dari terapi musik untuk memperkuat dan/atau mempercepat pembelajaran
dan penggunaan percakapan, vokal yg lebih luas/spontan dan mantap, memperbaiki
kualitas suara dan lebih leluasa dalam menggunakan intonasi dan ritme.
Meningkatkan perkembangan
dan pendidikan bahasa, dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara umum
Bagi anak-anak tuna rungu, keterbatasan input pendengaran tidak hanya
mempengaruhi kemampuan untuk mendengar suara percakapan dari orang lain, namun
juga mempunyai dampak negatif terhadap perkembangan bahasa mereka sendiri.
Keteraturan memperdengarkan bahasa melalui pendengaran, memberikan informasi
penting mengenai vocabulary, syntax (kalimat), semantics (arti kata) dan
pragmatics, yang mana hal ini secara langsung diterima oleh anak dengan
pendengaran normal. Tanpa keteraturan mendengarkan ini, bagi anak dengan
pendengaran terbatas biasanya akan mempunyak banyak problem pada bahasa mereka.
Kesulitan itu biasanya terdapat pada kurangnya vocabulary, kesulitan dalam
mengartikan kata, menggunakan kata yang salah, struktur dan isi bahasa yang
salah, dan lainnya. Kesulitan-kesulitan dalam menggunakan bahsa ini selanjutnya
akan menghalangi individu tersebut dari komunikasi yang mempunyai arti dan juga
berinteraksi. Problem berbahasa dapat menimbulkan efek negatif pada pendidikan
seperti membaca, menulis dan pemahaman (Gfeller, & Baumann, 1988).
Secara signifikan terapi musik memberikan konstribusi
pada kemampuan untuk berkomunikasi dan berbahasa pada pasien tuna rungu.
Sebagai contoh Gfeller (1990), mendiskusikan tentang pengayaan repertoire musik
dan pengalaman bergerak dalam terapi musik, yang dapat di gabungkan dengan
percakapan dan, setelahnya penulisan kata. Anak-anak kecil terutama menggunakan
setiap saat pergerakan motorik dan belajar sesuatu melalui manipulasi dari
lingkungannya. Instrument musik dan materialnya kaya akan sumber-sumber
keterlibatan pada sensorik dan motorik. Pengalaman pada Multi sensory bahwa
musik merupakan alat pembelajaran yang bernilai, yang pada akhirnya juga
terkait pada representasi mental atau simbol, Gfeller (1990). Event musik dan
sekuensialnya dapat dibuat oleh para terapis sebagai model penggunaan bahasa
untuk anak. Semenjak rehabilitasi bahasa merupakan suatu proses yang panjang
dan lama, terapis musik dapat memberikan motivasi penting untuk membuat
aktifitas menjadi bermain dan menyenangkan. Aktivitas dalam terapi musik dapat
juga membuat suatu oportuniti untuk menggunakan konsep bahasa dalam konteks
yang berbeda
Penelitian lain juga menemukan bahwa integrasi musik dalam pendidikan sebagai
bahasa seni sangat menguntungkan (Darrow, 1989; Gfeller, & Darrow, 1987). Tidak hanya meningkatkan motivasi tapi juga memberikan sebuah
pendekatan multi sensori untuk belajar, yang dapat membantu pasien untuk
mendalami arti dari kata-kata baru. Bernyanyi
contohnya, memberikan suatu kesempatan untuk secara intensif menggunakan
pendengaran dan beraktifitas vokal. Mempelajari lagu dapat menstimulasi latihan
dalam pembedaan auditori, membedakan dan meleburkan bunyi huruf, pengucapan
suku-suku kata dan pelafalan kata (Gfeller, & Darrow, 1987). Hal ini dapat juga
membantu mengembangkan penguasaan kata-kata dan memberikan suatu pengalaman
dalam belajar membuat struktur kalimat dan semantiknya. Membuat lagu
dapat juga bertujuan sama. Lagu juga mempunyai kelebihan dalam melafalkan suatu
patron nada, menjadi tidak monoton.
Disamping meningkatkan perkembangan bahasa dan mendidik
bahasa pada pasien tuna rungu, terapi musik juga meningkatkan kemampuan
berkomunikasi dengan memberikan semacam kesadaran dan kemampuan melihat suatu
arti yang diselaraskan/disampaikan melalui “nada pada suara”.
Hal-hal penting didalam berkomunikasi dengan orang lain adalah espresi wajah,
body language, dan pitch serta intensitas dinamik. Kesadaran dan kepekaan
terhadap style dari bahasa yang diucapkan oleh diri sendiri dan orang lain,
dapat diberikan dengan berhasil melalui penerapan terapi musik. Dengan
menggayakan suatu lagu dan memberi isyarat pada lagu dengan cara yang “gaya
baik/indah”, seseorang dapat mempelajari untuk menggunakan dan menyadari nuansa
dalam berkomunikasi dengan yang lain (Gfeller, & Darrow, 1987). Berisyarat dalam bernyanyi juga memberikan
suatu kesempatan untuk mengeksplorasikan ekspresi dari emosi sendiri, karena
lirik dan melodi secara persamaan dapat mengungkapakan suatu ekspresi jiwa
dibandingkan dengan hanya berbicara.
Mengembangkan
jiwa sosialisasi, kesadaran diri, kepuasan emosinal dan meningkatkan
kepercayaan diri
Didalam beberapa literatur
mengkarakterkan bahwa seseorang tuna rungu mempunya perasaan kuat akan rendah
diri dan depresi, juga mempunyai sikap tidak bisa dipengaruhi dan tertutup
(lihat ulasan ulang dari Galloway, & Bean, 1974). Body-image dan
kesadaran yang tidak terlalu baik, kurangnya berbahasa dan berkomunikasi, dan
tertutupnya rasa sosialisasi, memberikan kontribusi secara signifikan pada
perasaan-perasaan ini. Terapi musik
dapat memberikan kesempatan yang penting untuk memperbaiki masalah ini dan
meningkatkan rasa percaya diri seseorang yang tuna rungu.
Brick (1973) menemukan eurhythmics—Seni dari keharmonisan dan gerak tubuh
yang ekspresif—dan aktifitas musik yang memberikan pasien suatu pengalaman yang
menyenangkan, dimana hal tersebut memberikan energi kreatif untuk pasien. Hal
ini sebaliknya membantu mengembangkan kepercayaan diri, memberi rasa bangga
dalam menyelesaikan sesuatu dan bekerja sama dalam satu grup. Robbins &
Robbins (1980) juga menemukan bahwa aktifitas kelompok musik dapat memberikan
contoh untuk menyesuaikan didalam bersosialisasi. Hasil hakiki yang didapat
dalam pengalaman bermusik sepertinya dapat memotivasi pasien yang selalu
melawan untuk dapat bekerja sama (co-operative), yang selalu tidak fokus
menjadi fokus dan yang selalu gagal menjadi berusaha untuk selalu menyelesaikan
pekerjaannya. Pasien yang juga selalu jelek/gagal dalam hal lain, dapat
menerima bantuan spesial dan kompensasi yang baik melalui terapi musik ini.
Body-image
dan kesadaran juga dapat meningkat melalui terapi musik ini. Galloway &
Bean (1974) menemukan bahwa aktivitas bernyanyi dan melakukan gerakan pada
musik juga efektif. Robbins & Robbins (1980) juga menekankan pentingnya
realistis dan positif pada diri sendiri. Mereka
menemukan juga bahwa kecakapan dalam bergerak yang dipelajari melalui musik
dapat meningkatkan rasa percaya diri, koordinasi, sikap tenang yang alami dan
kesadaran akan jati diri.
Bernyanyi, bermain atau bergaya pada suatu lagu dapat menghasilkan seseorang
untuk dapat berekspresi dan puas terhadap diri secara emosional. Gfeller &
Darrow (1987) menyarankan bahwa bergaya atau bernyanyi pada lagu yang dibuat
sendiri, juga dapat membuat seseorang tuna rungu untuk mengekspresikan atau
mengilustrasikan pikirannya, perasaannya dan idenya bila hal itu terlalu sulit
untuk dituliskan. Staum (1987) juga menemukan bahwa tehnik dan prosedur terapi
musik dapat memberikan suatu skill yang fungsional yang dapat terintegrasi
langsung di dalam pelajaran musik secara private maupun secara klasikal.
Melalui suatu cara yang dapat di transfer diluar sesi terapi, seseorang lebih
bisa dan senang untuk berekspresi pada situasi baru , bertemu orang baru, dan
dapat bekerja dalam suatu grup-grup. Hal ini sebaliknya pula memberikan suatu
rasa tanggung jawab sosial juga kesadaran, kebanggan dan kepercayaan diri dan
sosial.